Gelap.
Hanya itu kata yang
terngiang dalam pikiranku.
Samar - samar aku mendengar bunyi bunyi berisik yang mendengung di sekitarku. Lama kuamati ternyata itu adalah bunyi elektrocardiograph (alat pengukur detak jantung) yang terdengar masih stabil dan langkah langkah orang lalu lalang di depan kamar
Aku harus bangkit.
Kubuka mataku perlahan.
Sesaat cahaya membuat mataku silau. Aku merasakan rasa hangat di tangan
kananku.
Aku memiringkan kepala
dan melihat sebuah sosok tertidur di sebelahku sambil menggenggam tanganku.
Sosok yang kurindukan itu, yang entah sudah berapa hari tidak kutemui.
“Shin. . “ suaraku
terdengar sangat lemah tapi berhasil menyentakkannya dari tidurnya.
“Takuya!” ia memandangku
kaget sekaligus lega.
“Shin, apa yang . .”
“Bodoh!”
Aku terkejut
“Sudah kehilangan kaki
kananmu sekarang kau mau kehilangan anggota tubuh yang lain?!”
“Eh. . aku tidak . .”
“Kenapa kamu mau susah
payah menyelamatkan aku Takuya? Meski kamu bisa saja kehilangan nyawamu?” Shin
spontan memelukku.
“Aku..” aku menatap
punggungnya yang bergetar “lebih tidak rela kehilanganmu..”
Aku memandang kebawah dan
merasakan pipiku memerah. Tangan shin memelukku lebih erat
“Jangan lakukan itu lagi.
Kumohon, aku nggak ingin kehilangan saudaraku lagi”
“Tenanglah Shin. Aku
nggak akan meninggalkanmu”
ya.. aku nggak bisa memikirkan kata kata lain. Aku akan terus berada di sampingmu, tapi..
sampai kapan . .
===
Kami sedang memandang ke
luar jendela dalam keheningan ketika seseorang mengetuk pintu kamarku. Shin
membukakannya.
Mataku terbelalak.
Apa?
Kenapa dari semua orang dia yang muncul di depanku?
Kenapa sekarang?
Shin menoleh padaku dan
mendapati aku terkejut dengan kehadiran seorang gadis berambut panjang dan serangkai bunga Lily di
tangannya. Meskipun wajahnya manis namun ia menampakkan kekhawatiran yang membuat wajahnya pucat
“Mari chan..”
“Takkun” ia melangkah
memasuki kamarku dan menoleh padaku kemudian pada Shin.
“Hai. Aku Marika
Ichinose. Kalau tidak salah kau Shin Kogami?”
“Ya, aku Kogami, salam kenal,
Ichinose” sambut Shin sambil mengulurkan tangan dan tersenyum.
“Salam kenal juga. Terima kasih sudah menjaga Takkun” ia menunduk.
Mereka berjabat tangan
setelah perkenalan diri singkat itu.
“Aku akan keluar supaya
kalian punya waktu bicara berdua”
Sebuah jurang terasa
terbentang diantaraku dan Shin saat aku melihatnya melewati Marika dan menutup
pintu kamar.
Ah, sekarang dia sudah tahu mantan pacarku
Awalnya aku heran kenapa Shin bisa tahu dengan pasti tapi itu sudah jelas. Meskipun ada kemungkinan Marika saudara atau temanku tapi raut di wajahku pasti sudah menunjukkannya.
Marika duduk di samping
tempat tidurku dan membungkukkan badan, menumpukan sikunya pada lututnya. Ia tidak menoleh padaku
Sunyi sejenak. Aku
membiarkannya bicara duluan
“Apa kau baik baik saja?”
“Ah, jelas aku baik baik saja, untungnya. Kalau nggak aku pasti
nggak bisa bicara padamu kan?” kataku sambil tertawa kecil
Sepertinya dia jadi lebih
rileks karenanya.
“Takkun, maaf.. Aku
sebenarnya nggak bermaksud untuk putus dan meninggalkanmu.. Kamu tahu aku selalu menyukaimu"
Ia mencoba menatapku, tapi kemudian memalingkan pandangan matanya dari mataku
"Maukah.. kita berbaikan kembali?" nadanya penuh harap "anggap saja kita tidak pernah putus. Mulai sekarang aku akan dengan setia menemanimu.."
"Kau meninggalkanku karena aku cacat" potongku
Ia terkejut dan merasa bersalah
Aku menghela nafas dan mencoba menenangkan emosiku. Sakit rasanya kalau kamu tidak lagi dicintai pacarmu hanya karena kamu kehilangan kaki kananmu
"Kau dipengaruhi Miki dan teman temanmu yang lain. Mereka bilang punya pacar yang cacat itu aneh sekali, bukan begitu?"
"Tapi .."
"Ya, aku tahu kalau kamu sebenarnya masih suka padaku dan tidak terpengaruh pada kecacatanku. Tapi pada saat itu juga kamu goyah. Kamu bimbang apakah kamu dapat bertahan melawan dunia dengan tetap mencintaiku apa adanya. Dan kamu putuskan kamu nggak bisa melakukan itu"
"Tapi aku sadar aku salah Takkun! Aku masih menyukaimu! Aku ingin pacaran lagi denganmu, tidak peduli dunia akan menganggapku bagaimana"
Aku terdiam sejenak.
Jauh di dalam hatiku aku bertanya - tanya. Apakah aku masih menginginkan gadis ini? Apa aku masih ingin melanjutkan kenangan indah bersamanya.
Aaah kalau dipikir pikir berapa banyak sih kenangan yang sudah kami buat?
Jauh di dalam hatiku aku malah menemukan sosok lain yang kuharapkan
sosok yang sudah memiliki tempat sendiri dan menyingkirkan kedudukan Marika
"Maaf" kataku "Meski begitu kau sudah melukaiku."
Marika semakin merasa bersalah
"Tapi itu bukan sepenuhnya karena itu. Aku sudah memaafkanmu, tapi maaf, aku nggak bisa kembali padamu"
"Ada orang lain yang kausuka?"
Pertanyaan itu menyentakkanku, membuat pipiku tiba - tiba memerah dan aku salah tingkah
"A.. ada"
"Apa aku mengenalnya?"
"Iya"
Ia tak menanyakan pertanyaan lain dan bangkit berdiri. Marika kemudian menggenggam tanganku sambil berkata lirih
"Cepat sembuh Takkun"
Marika berjalan melewati pintu kamarku. Shin masuk beberapa saat kemudian, tidak menanyakan apapun, hanya menepuk lembut kepalaku dan menyarankan aku beristirahat kembali
===
2 hari kemudian aku diperbolehkan pulang. Aku sangat bersyukur dan lebih senang lagi mengetahui tidak ada luka serius yang bisa membahayakanku.
Shin juga senang.
Kami lalu pulang bersama sore itu
Saat itu sekitar pukul 6 sore. Sampai di persimpangan dekat rumahku, aku berpamitan pada Shin untuk pulang sendiri ke rumahku.
"Jangan, aku akan menemanimu sampai kamu pulang, jaga jaga siapa tahu terjadi sesuatu"
"Tidak usah, percayalah padaku Shin, nggak akan terjadi apa apa. Kamu harus percaya, aku saudaramu kan?"
Setelah bersikeras dan bersikukuh akhirnya aku berhasil meyakinkan Shin aku akan tiba dengan selamat sampai rumah.
Akhirnya aku sampai di rumah. Suasana sepi dan gelap ketika aku datang.
Tentu saja, rumah ini akan selalu sepi tanpa kehadiran keluarga.
Aku hendak mengganti selop ketika tiba - tiba rasa sakit menyerang kaki kananku dan membuatku terjatuh ke lantai.
Daguku terasa sakit sekali dan aku berharap semoga gusiku tidak berdarah.
Aku merasa pusing karena merasakan rahangku juga sakit, semuanya jadi tidak terkendali.
Aku membiarkan diriku tergeletak dalam kegelapan, tidak tahu apa yang harus dilakukan dan apa yang akan terjadi ketika tiba - tiba Shin membuka pintu rumahku dan menemukanku dalam kondisi yang mengenaskan
Dan saat itulah, konflik terjadi karena dia melihat rumah yang seharusnya tak pernah dia lihat
===
bersambung
No comments:
Post a Comment